TUTUYAN, BOLTIM — Belakangan ini, media sosial kembali digemparkan oleh kasus dugaan pelanggaran netralitas yang dilakukan oleh dua kepala desa di Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sulawesi Utara. Dalam unggahan yang beredar di akun Facebook @akon pasaran, terlihat dua kepala desa dari Tombolikat Induk dan Tombolikat Selatan berfoto bersama calon bupati nomor urut dua, Sam Sachrul Mamonto. Yang mengejutkan, mereka terlihat dengan jelas mengangkat tangan dua jari, simbol dukungan terhadap pasangan calon tersebut. Foto ini langsung menuai reaksi keras dari masyarakat karena kepala desa dan aparatur sipil negara (ASN) seharusnya menjaga netralitas dalam Pilkada.
Kasus ini bukan hanya menimbulkan kegaduhan di dunia maya, tetapi juga menimbulkan tanda tanya besar terkait penegakan aturan netralitas ASN dan kepala desa. Padahal, jelas tertuang dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara bahwa ASN harus bebas dari segala pengaruh dan intervensi politik. Hal yang sama ditegaskan kembali dalam Pasal 71 Ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan, yang melarang pejabat negara, termasuk kepala desa, untuk membuat keputusan atau melakukan tindakan yang menguntungkan salah satu pasangan calon.
Ada berbagai bentuk tindakan yang jelas melanggar netralitas ASN dan kepala desa dalam Pilkada. Dari hadir dalam kampanye, berfoto dengan pasangan calon, hingga memposting dukungan di media sosial—semua ini dapat dikenai sanksi. Dalam kasus yang terjadi di Boltim, kepala desa yang terlibat sudah melanggar dua poin utama, yaitu berfoto dengan pasangan calon dan menunjukkan simbol dukungan yang jelas. Ini adalah pelanggaran terbuka terhadap peraturan yang sudah ada.
Selain itu, ada bentuk-bentuk lain dari pelanggaran, seperti memasang alat peraga kampanye di rumah pribadi, memfasilitasi kegiatan kampanye, atau memerintahkan orang lain untuk memilih pasangan calon tertentu. Semua tindakan ini jelas merusak prinsip netralitas yang harus dijaga oleh ASN dan pejabat publik, terutama dalam masa Pilkada yang seharusnya berlangsung jujur dan adil.
Dalam undang-undang, pelanggaran semacam ini tidak bisa dianggap remeh. Pasal 188 UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan menegaskan bahwa pejabat yang melanggar ketentuan Pasal 71 dapat dipidana penjara antara satu hingga enam bulan dan/atau didenda antara Rp 600 ribu hingga Rp 6 juta. Ancaman pidana ini seharusnya menjadi peringatan keras bagi semua ASN dan kepala desa agar tidak bermain-main dengan netralitas mereka.
Lebih lanjut, Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS juga memberikan sanksi disiplin yang tidak kalah berat. Dari teguran lisan, tertulis, hingga pemotongan tunjangan kinerja, dan bahkan pemberhentian tidak hormat. ASN yang terbukti melanggar aturan bisa mengalami pemotongan tunjangan hingga 25% selama 12 bulan, atau lebih parah lagi, diturunkan pangkatnya dan diberhentikan dari jabatannya.
Kasus ini menyoroti masalah serius dalam menjaga netralitas ASN dan kepala desa, terutama menjelang Pilkada. Pjs Bupati Boltim, Lukman Lapandengan, ketika dihubungi oleh media, sudah menegaskan bahwa dirinya telah mengeluarkan surat edaran yang mengingatkan ASN dan kepala desa untuk menjaga netralitas. Namun, himbauan saja tidak cukup. Diperlukan tindakan tegas dan konkret agar aturan ini tidak hanya menjadi pajangan formalitas, tetapi benar-benar diimplementasikan di lapangan.
Sangat disayangkan bahwa hingga saat ini, pihak Bawaslu Boltim belum memberikan tanggapan resmi terkait kasus ini. Bawaslu sebagai pengawas pemilu seharusnya bergerak cepat untuk menindak setiap pelanggaran, tidak peduli siapa pelakunya. Apabila dibiarkan, kejadian ini akan memberikan preseden buruk bagi masa depan demokrasi di Boltim.
Pelanggaran netralitas ASN dan kepala desa dalam Pilkada tidak bisa dibiarkan begitu saja. Hukum dan aturan sudah jelas. ASN dan pejabat publik harus menjaga netralitas, agar proses demokrasi berjalan dengan baik dan tidak terkontaminasi oleh kepentingan politik praktis. Masyarakat berhak menuntut ketegasan dari pihak-pihak berwenang, termasuk Bawaslu dan pemerintah daerah, untuk memastikan bahwa pelanggaran semacam ini tidak terulang lagi di masa depan.
Kasus di Boltim ini harus menjadi pelajaran bagi semua pihak, bahwa netralitas ASN bukan hanya sekedar slogan, tetapi kewajiban yang harus ditegakkan demi menjaga kepercayaan publik dan integritas proses demokrasi.
(DP)
Â