MANADO, BOLTIM — Pada sesi debat publik Pilkada Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Boltim) yang berlangsung 31 Oktober 2024, ketegangan terjadi antara pasangan calon nomor urut 1, Oskar Manoppo dan Argo Sumaiku (ORAS), dan pasangan calon nomor urut 2, Sahrul Mamonto dan Rusmin Mokoagow (ARUS). Dalam sesi tanya jawab yang diwarnai kritik tajam, Oskar Manoppo mengungkap isu sensitif mengenai ketidaknetralan Aparatur Sipil Negara (ASN) di pemerintahan Boltim, yang langsung dihubungkan dengan kepemimpinan Sahrul Mamonto, mantan bupati yang kini mencalonkan diri kembali.
Isu netralitas ASN menjadi sorotan utama ketika Manoppo menanyakan langkah konkret yang akan diambil oleh ARUS untuk membangun tata kelola pemerintahan yang bersih dari intervensi politik. Dalam pertanyaannya, Oskar Manoppo dengan tegas mengingatkan bahwa ASN, kepala desa, dan perangkat desa di Boltim harus mematuhi undang-undang yang melarang keterlibatan mereka dalam politik praktis. Ia juga mengarahkan pernyataan kepada Pejabat Sementara (Pjs) Bupati Boltim, Lukman Lapadegan, agar tetap bekerja netral di tengah proses pilkada.
“Kami akan bertanya kepada Paslon 02,” buka Manoppo dengan nada tegas. “Menurut bapak, bagaimana cara melakukan penataan birokrasi pemerintahan di Boltim agar ASN tidak terseret dalam politik praktis, mengingat kondisi politik sekarang ini? Netralitas ASN sangat penting untuk menjaga integritas birokrasi,” ujar Manoppo, sambil mengutip Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 yang melarang ASN, BUMN, BUMD, kepala desa, dan perangkat desa dari terlibat politik.
Namun, jawaban Sahrul Mamonto, yang notabene adalah mantan bupati Boltim, justru memicu pertanyaan lebih besar. Alih-alih memberi tanggapan yang memperlihatkan keseriusan dalam menjaga netralitas ASN, Sahrul malah mengaku tidak mengetahui adanya ketidaknetralan ASN di pemerintahan yang ia pimpin sebelumnya. “Kalaupun tadi ada yang dikatakan bahwa ASN tidak netral, saya tidak mengetahui itu, saya tidak tahu,” jawab Sahrul. Ia juga menambahkan bahwa ia telah memperingatkan pejabat eselon dua untuk tidak terlibat politik praktis menjelang pilkada.
Jawaban yang terkesan acuh ini mendapat kritik tajam dari Oskar Manoppo. Menurut Manoppo, sikap ARUS yang seolah tidak peduli dengan isu netralitas ASN hanya menunjukkan ketidakmampuan dalam menjaga profesionalisme birokrasi. Ia mengungkapkan bahwa di lapangan, keterlibatan ASN dalam kegiatan politik justru sangat kentara, dan bahwa klaim Sahrul tidak sesuai dengan kenyataan. “Kami dapati di masyarakat bahwa keterlibatan ASN itu sangat jelas terlihat,” tegas Manoppo.
Manoppo juga menyindir bahwa klaim netralitas yang disampaikan oleh ARUS hanyalah formalitas tanpa bukti nyata. Menurutnya, ARUS seharusnya memberikan perhatian lebih pada birokrasi yang profesional dan independen, terutama karena netralitas ASN merupakan isu krusial dalam pilkada. “Kita tidak boleh membiarkan masyarakat dikelabui dengan pernyataan yang tidak berdasar. Kami di sini untuk membuka mata publik,” imbuh Manoppo.
Jawaban defensif Sahrul Mamonto dianggap tidak memberi jaminan tentang netralitas birokrasi jika ia terpilih kembali. Sikapnya yang seolah menyepelekan isu ketidaknetralan ASN dianggap sebagai langkah mundur, dan ini menciptakan kekhawatiran bahwa, jika terpilih kembali, Sahrul akan gagal menjaga batas antara birokrasi dan politik praktis.
Sementara itu, ORAS berkomitmen untuk menata ulang birokrasi agar ASN benar-benar netral dalam menjalankan tugasnya sebagai pelayan masyarakat. Sebagai mantan pejabat, Sahrul Mamonto seharusnya lebih memahami pentingnya profesionalisme ASN, bukan malah memberikan jawaban yang mengesankan ketidaktahuan atau ketidakpedulian terhadap isu yang begitu mendasar dalam pemerintahan.
Debat ini memperlihatkan ketimpangan persepsi antara dua paslon dalam hal menjaga netralitas birokrasi. Di satu sisi, pasangan ORAS memperlihatkan pemahaman dan komitmen yang kuat untuk menegakkan profesionalisme ASN. Di sisi lain, pasangan ARUS yang dipimpin oleh seorang mantan bupati malah menunjukkan sikap longgar, seolah-olah netralitas ASN bukanlah isu serius.
Masyarakat Boltim tentu berharap dapat memilih pemimpin yang mengutamakan integritas birokrasi. Netralitas ASN bukan hanya sekadar tuntutan undang-undang, tetapi juga penopang pemerintahan yang sehat dan profesional. Jawaban Sahrul Mamonto yang seolah tidak peduli tentu akan menjadi catatan tersendiri bagi masyarakat yang menginginkan perubahan nyata dan tata kelola pemerintahan yang bersih dari kepentingan politik.
(DP)