BOLTIM — Kasus dugaan bullying yang disertai dengan pemukulan terhadap siswi SD Negeri 2 Modayag Barat, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur, mengundang kekecewaan banyak pihak. Meski insiden ini sudah berlangsung lama dan viral di media sosial, respons dari pemerintah daerah, khususnya Bupati Mohammad Lukman Hakim Lapandengan dan Kepala Dinas Pendidikan Yusri Damopilii, dianggap sangat lamban dan kurang sigap.
Kasus ini bermula pada 27 September 2024, ketika siswi yang kita sebut sebagai “Bunga” mengalami kekerasan fisik oleh teman-temannya. Setelah kejadian itu viral di Facebook, orang tua Bunga langsung melaporkan insiden tersebut ke Polsek Modayag. Namun, keterkejutan orang tua semakin besar setelah mereka mengetahui bahwa Bunga telah menjadi korban bullying sejak pertama kali masuk sekolah, tanpa pernah berani melaporkannya.
Pada 1 Oktober 2024, diadakan pertemuan di Ruang Kepala Sekolah yang melibatkan polisi, pihak sekolah, Kepala Dinas Pendidikan Yusri Damopilii, dan salah satu orang tua pelaku. Pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan untuk menyelesaikan kasus ini secara damai dengan syarat diadakan pertemuan lanjutan yang melibatkan seluruh orang tua pelaku. Namun, hingga saat ini tidak ada kelanjutan dari kesepakatan tersebut.
Orang tua korban mengungkapkan kekecewaannya karena pihak sekolah dan Polsek Modayag terkesan tidak serius dalam menangani kasus ini. “Sampai hari ini tidak ada informasi, kejelasan, ataupun pertanggungjawaban terkait kasus ini dari pihak Polsek Modayag,” ungkap orang tua Bunga dengan penuh kekecewaan pada 7 Oktober 2024.
Menurut Kanit Reskrim Polsek Modayag, Khrestian Malele, lambatnya penanganan kasus ini disebabkan oleh pihak sekolah yang belum memberikan data mengenai identitas orang tua pelaku. “Sampai sekarang guru-guru belum memberikan data mengenai orang tua siswa/siswi yang menganiaya korban,” ujar Khrestian.
Respons lambat dari pihak sekolah dan ketidakmampuan polisi untuk bertindak tanpa informasi yang lengkap memperburuk situasi. Hal ini menunjukkan kurangnya koordinasi dan kemauan serius dari para pemangku kepentingan dalam menangani kasus kekerasan di sekolah.
Kepala Dinas Pendidikan Yusri Damopilii hanya memberikan tanggapan singkat saat dimintai keterangan mengenai kasus ini, tanpa menunjukkan langkah konkret. “Tunggu, saya konfirmasi dengan sekolah,” ujarnya dengan nada yang terkesan enggan.
Yang lebih memprihatinkan lagi adalah sikap Pj. Bupati Bolaang Mongondow Timur, Mohammad Lukman Hakim Lapandengan. Saat diminta tanggapannya, Bupati mengaku baru mengetahui kasus ini. “Saya baru tahu sekarang, nanti saya panggil dulu Kadis dan kepala sekolah untuk penjelasan,” ucapnya tanpa memberikan rencana tindak lanjut yang jelas.
Pernyataan Bupati tersebut mengejutkan banyak pihak, mengingat posisi beliau sebagai kepala daerah yang seharusnya proaktif dan peduli terhadap isu kekerasan di lingkungan pendidikan. Ketidakpedulian ini menunjukkan lemahnya kepemimpinan dan minimnya prioritas dalam menangani masalah yang menimpa anak-anak di wilayahnya.
Sikap tidak responsif tidak hanya ditunjukkan oleh pihak sekolah dan pejabat daerah, tetapi juga oleh lembaga Pelayanan Perlindungan Anak (PPA). Hingga kini, tidak ada satupun perwakilan dari PPA yang mengunjungi rumah korban untuk memberikan pendampingan atau memulihkan trauma yang dialami Bunga.
Ketiadaan tindakan dari PPA menunjukkan ketidakseriusan dalam menjalankan perannya sebagai lembaga yang seharusnya melindungi dan mendampingi anak-anak yang menjadi korban kekerasan.
Kasus bullying dan kekerasan di sekolah ini seharusnya menjadi perhatian serius bagi seluruh pemangku kepentingan, termasuk Bupati dan Kepala Dinas Pendidikan. Mereka perlu segera mengevaluasi sikap dan tindakan mereka dalam menangani kasus ini. Keterlambatan, ketidakpedulian, serta minimnya transparansi hanya akan memperburuk situasi dan membuat korban semakin kehilangan harapan untuk mendapatkan keadilan.
Pemerintah daerah dan lembaga terkait wajib memastikan bahwa kasus ini diselesaikan dengan tuntas dan bahwa tidak ada lagi anak yang menjadi korban bullying di sekolah tanpa mendapatkan perlindungan dan perhatian yang layak.
(donal)