JAKARTA, BOLTIM – Sidang pemeriksaan pendahuluan perkara nomor 105/PHPU.BUP-XXIII/2025 terkait perselisihan hasil pemilihan Bupati Kabupaten Bolaang Mongondow Timur 2024 diwarnai sorotan tajam terhadap pasangan calon nomor urut dua, Sam Sachrul Mamonto dan Rusmin Mokoagow (Sachrul-Rusmin), serta kuasa hukum mereka, Risky Dewi Ambarwati. Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Arief Hidayat, mempertanyakan kelayakan kedudukan hukum (legal standing) pasangan calon ini sebagai pemohon dalam gugatan.
Sidang yang berlangsung di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, pada Selasa (14/1/2025) pagi, mengungkap sejumlah kelemahan dalam permohonan gugatan yang diajukan Sachrul-Rusmin. Salah satu isu utama adalah tidak dipenuhinya ketentuan ambang batas selisih suara yang diatur dalam Pasal 158 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Hakim Arief Hidayat menanyakan secara rinci legal standing Sachrul-Rusmin kepada kuasa hukum mereka. Ia menyoroti bahwa dalam permohonan yang diajukan, tidak terdapat penjelasan lengkap mengenai perolehan suara dan selisih suara yang menjadi dasar gugatan.
“Sekarang, berikutnya legal standing, diajukan pasangan calon nomor urut 2,” ujar Arief, meminta klarifikasi dari Risky Dewi. Namun, jawaban kuasa hukum pemohon dianggap kurang memadai.
Ketika Arief menggali lebih dalam mengenai ambang batas sebagaimana diatur dalam Pasal 158, Risky Dewi tampak kesulitan memberikan jawaban yang tegas. “Tapi di dalam permohonan tidak diuraikan ya?” tanya Arief. Risky hanya mengakui, “Iya, Yang Mulia.”
Lebih lanjut, Arief meminta kejelasan tentang selisih suara antara Sachrul-Rusmin dan pasangan calon pemenang. Risky menjelaskan bahwa selisih suara adalah 2.688 suara atau sekitar lima persen. Namun, menurut Pasal 158 UU Pilkada, ambang batas yang dipersyaratkan adalah dua persen.
“Lima persen. Mestinya menurut undang-undang, 158 berapa persen?” tanya Arief.
“Dua persen, Yang Mulia,” jawab Risky dengan terbata-bata.
Hakim Arief menegaskan bahwa dengan selisih suara yang melebihi dua persen, permohonan Sachrul-Rusmin otomatis tidak memenuhi syarat formal. Hal ini menjadi sorotan utama dalam persidangan.
Kinerja kuasa hukum Sachrul-Rusmin, Risky Dewi Ambarwati, juga mendapat kritik. Kurangnya penjelasan detail dalam permohonan gugatan serta ketidaksiapan saat memberikan jawaban menunjukkan lemahnya persiapan tim hukum pasangan calon ini.
Permohonan yang diajukan terkesan serampangan karena tidak memperhatikan aturan mendasar dalam UU Pilkada, seperti ketentuan ambang batas.
Dengan tidak terpenuhinya ambang batas, posisi Sachrul-Rusmin sebagai pihak yang menggugat hasil Pilkada menjadi lemah. Ini menunjukkan bahwa pasangan calon nomor urut dua tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk melanjutkan gugatan mereka.
Ketidakmampuan mereka dan tim hukumnya dalam mematuhi aturan yang sudah jelas diatur dalam undang-undang justru mengarah pada pemborosan waktu dan sumber daya. Hal ini juga dapat menimbulkan persepsi negatif di mata publik mengenai integritas dan profesionalisme pasangan calon tersebut.
Sidang ini mengungkap kelemahan mendasar dalam gugatan yang diajukan Sachrul-Rusmin. Dengan ketentuan ambang batas yang jelas tidak terpenuhi dan kurangnya persiapan dari kuasa hukum, gugatan ini tampak tidak memiliki peluang besar untuk diterima oleh MK.
(Dp)