TUTUYAN, kabar-jurnalis.com – Proyek pengaspalan ruas jalan Tombolikat-Toput di Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Boltim) kembali menjadi pusat perhatian masyarakat. Proyek yang dikelola oleh CV. Multi Karya Utama ini didanai dari APBD 2024 dengan anggaran sebesar Rp855.142.046,06, dan direncanakan akan selesai dalam 150 hari. Namun, di tengah pelaksanaannya, sejumlah pertanyaan dan kritik muncul terkait dengan efisiensi dan transparansi pengelolaan proyek tersebut.
Hendrik, pelaksana proyek, menjelaskan bahwa panjang jalan yang diaspal mencapai 580 meter, namun terbagi dalam beberapa segmen. Menurutnya, prioritas diberikan pada bagian jalan yang mengalami tanjakan. Meski demikian, masih ada ketidakjelasan mengenai total panjang pengaspalan. Beberapa segmen dikerjakan penuh, namun di segmen lainnya, hanya 46 meter yang diaspal. Fragmentasi pengerjaan ini menimbulkan kritik publik mengenai efektivitas proyek dan urgensi perbaikan jalan yang terkesan parsial.
Masyarakat menilai bahwa proyek tersebut seharusnya direncanakan dengan lebih komprehensif. Ismail Mokodimpit, seorang tokoh masyarakat Tombolikat, mengkritik ketidakjelasan prioritas pengerjaan. Menurutnya, proyek infrastruktur yang vital seperti pengaspalan jalan tidak boleh dilakukan secara setengah-setengah, melainkan harus berdasarkan kebutuhan masyarakat secara keseluruhan. “Kenapa hanya bagian tertentu yang diperbaiki? Masyarakat berhak tahu alasan di balik keputusan tersebut,” kata Ismail.
Lebih lanjut, terjadi perbedaan informasi antara pelaksana proyek dan pemerintah. Hendrik menyebutkan bahwa panjang jalan yang diaspal adalah 580 meter, namun menurut Julkifli Mokoagow, Kepala Bidang Cipta Karya, panjang yang diaspal hanya 300 meter dengan lebar 3,5 meter dan anggaran yang mencapai Rp885.000.000. Perbedaan ini menjadi sorotan tajam dari masyarakat. “Bagaimana bisa terjadi perbedaan yang begitu signifikan antara panjang jalan yang diaspal? Apakah ada ketidaksepakatan antara pelaksana dan pemerintah, atau justru ini menunjukkan kurangnya transparansi dalam proyek?” tegas Ismail.
Transparansi menjadi isu utama dalam proyek ini. Ismail juga mengkritik penggunaan e-Katalog dalam pengadaan proyek. Meskipun penggunaan e-Katalog diperbolehkan oleh aturan, Ismail menyebut langkah ini mengurangi kompetisi yang sehat karena proyek tidak lagi melalui proses lelang terbuka di LPSE. “Meskipun tujuannya mempercepat proses pengadaan, penggunaan e-Katalog tetap harus dipantau. Jangan sampai ini menjadi celah untuk mengurangi kualitas pengawasan dan akuntabilitas,” tambahnya.
Ismail menegaskan bahwa proyek pengaspalan jalan ini harus diawasi dengan ketat oleh masyarakat dan media. Menurutnya, tanpa pengawasan yang jelas, anggaran besar yang diambil dari APBD bisa saja terbuang sia-sia tanpa memberikan manfaat yang maksimal. “Pengawasan sosial harus terus dilakukan, sehingga proyek tidak hanya menjadi sekadar formalitas yang tak bermanfaat bagi masyarakat,” tutupnya.
Hingga kini, pihak pemerintah maupun penyedia jasa belum memberikan spesifikasi yang jelas mengenai pekerjaan yang sedang berlangsung. Masyarakat berharap agar transparansi informasi segera diperbaiki agar mereka bisa turut mengawasi jalannya proyek dan memastikan bahwa penggunaan anggaran telah sesuai dengan kebutuhan. Keterbukaan informasi menjadi kunci agar proyek ini tidak menjadi satu lagi contoh kegagalan pembangunan infrastruktur di Boltim.
(Donal)